Tidak Ada yang Istimewa Malam Ini
Kau duduk di baris terakhir Transjakarta. Saat itu, keadaan di dalam bus sedang sepi — hanya kau, seorang lelaki paruh baya, dan sopir bersama kernetnya. Jam pada telepon genggammu telah menunjukkan pukul sembilan malam. Hujan yang sebelumnya telah kauprediksi akan datang akhirnya turun juga. Rintik-rintik kemudian jatuh mengalir kembali ke sungai, ke laut, hingga ke samudra. Dingin dan basah. Pelbagai kendaraan dengan cahaya lampunya berlintasan cepat, tetapi kau hanya bisa terdiam di tempat dudukmu.
Tiga puluh menit berlalu. Hujan mulai mereda dan malam semakin malam. Kejemuan memaksamu untuk mendengarkan musik dengan penyuara telinga. Kau memutar salah satu lagu favoritmu dari album kompilasi Banda Neira, Kita Sama-sama Suka Hujan. Kau pejamkan matamu dan menarik napas dalam-dalam. Dalam kesunyian malam itu, denting piano Gardika dan suara Ananda serta Rara mengumandang di telingamu: I’ll take you home, just wanna take you home.
Lantas nostalgia tetiba membawamu ke rumah pertama di mana kautumbuh bersama dengan memori dan orang-orang yang ada di dalamnya. Masih membekas di ingatan, nasihat-nasihat bapak yang kerap kaudengar ketika sedang di meja makan. Masih teringat di benak, hirup bau masakan kesukaan yang dibuat bibi setalah pulang lelah dari sekolah. Dan masih terlintas di pikiran, senyum tulus ibu saat mengetahui anaknya lolos seleksi universitas negeri.
Kau sedang mengingat segala hal-hal baik itu semua ketika air mata tampak mulai pecah melembapkan pipimu yang tak berpeluh. Kau menangis tersedu-sedu, rindu rumah, dan berharap bisa memeluk kedua orang tuamu. Namun, kau belum bisa pulang ke sana dan bus yang kau tumpangi ini hanya mengangkut rindumu dengan sia-sia.